Heyraneey | Sharing is caring
#KaburAjaDulu Apakah Bijak?

#KaburAjaDulu Apakah Bijak?

Halo semua!



Tampaknya sedang ramai dengan tagar #kaburajadulu yang meramaikan lini masa sosial media ya. Menurutku itu sebagai respons terhadap kekecewaan terhadap pemerintah dan kebijakan yang dirasa kurang berpihak pada rakyat. "Kabur aja dulu" adalah ungkapan yang muncul sebagai bentuk kekecewaan dan frustrasi terhadap kondisi dalam negeri. Hal ini mencerminkan keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Alasannya beragam, mulai dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi yang sulit, hingga rasa ketidakadilan.

Nah menurutku perlu pemikiran matang, keputusan untuk meninggalkan negara bukanlah hal yang sederhana.

Dibutuhkan perencanaan yang matang dan pertimbangan yang mendalam. 

Perencanaan: Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan. Tujuan: Apa yang ingin dicapai dengan pindah ke negara lain? Negara Tujuan: Negara mana yang paling sesuai dengan tujuan dan kemampuan? Persiapan Finansial: Biaya hidup di negara lain, biaya visa, dan lain-lain. Persiapan Administrasi: Visa, izin kerja, dan dokumen-dokumen penting lainnya. Adaptasi: Kemampuan beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru.

Kalau aku pribadi, wajib banget untuk diskusi dengan orang terdekat juga  diskusi dengan pasangan. Keputusan ini harus didiskusikan secara terbuka dan jujur dengan pasangan atau keluarga. Pertimbangkan dampaknya bagi semua pihak yang terlibat. Walau ini bahkan jadi pembicaraan kita ya, karena saat ini dia stay di luar negeri untuk pendidikannya. Kita sepakat untuk terus setia pada NKRI dan memegang paspor Indonesia.

Kenapa? 

Status Kewarganegaraan, penting untuk memahami implikasi dari pindah ke negara lain terhadap status kewarganegaraan. Apakah akan tetap menjadi WNI, atau memilih kewarganegaraan ganda atau melepaskan kewarganegaraan. Pasti ada keuntungan seperti peluang kerja yang lebih baik, kualitas hidup yang lebih tinggi, sistem pendidikan yang lebih baik, dan lain-lain. Ini bergantung juga negara mana yang dituju, dan kemampuan apa yang bisa kamu berikan ke negara. Kerugiannya bisa terkait dengan aset yang ada di negara asal, dan menetap di negara asing tidaklah seindah glorifikasi di sosial media.

Nahhh,  dibanding itu banyak kontribusi yang bisa kita berikan selain "Kabur Aja Dulu" seperti terlibat dalam kegiatan sosial atau politik untuk memperjuangkan perubahan. Ini alasan kuat aku kenapa ikut program dari Friedrich Ebert Stiftung, yayasan politik sosial demokrasi dari Jerman, karena aku tertarik pada perubahan dan politik. Walau latar belakangku mungkin di dunia kedokteran. Meningkatkan keterampilan dan pendidikan untuk meningkatkan daya saing di pasar kerja, mencari peluang usaha atau investasi di dalam negeri, dan mendoakan agar banyak hal baik bisa kita berikan kepada lingkungan

Semoga terjawab yaa, mari kita doakan juga menebar hal-hal baik. Kita tidak harus melakukan aksi besar, tetapi hal-hal tulus sederhana yang kita lakukan insyaAllah bernilai ibadah dan berdampak pada sekitar, amiin.

Salam sayang

Raneey


Aceh, Cinta, dan Harapan

Aceh, Cinta, dan Harapan

 


  Provinsi Aceh, sebuah wilayah yang diwarnai oleh sejarah yang kompleks dan tantangan sosial yang mendalam, saya menemukan diri saya tumbuh dan berkembang. Lahir dengan privilese yang tidak semua orang miliki, saya tidak pernah bisa mengabaikan realitas yang kontras di sekitar saya. Ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang layak adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial Aceh, sebuah kenyataan yang selalu menyentuh hati saya.

    Masa kecil saya dihabiskan di tengah-tengah masyarakat akar rumput, di mana saya berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai lapisan sosial dan ekonomi. Saya mendengar kisah-kisah yang menyentuh tentang perjuangan hidup, kehilangan, dan harapan yang belum terwujud. Pengalaman ini membuka mata saya terhadap realitas kehidupan yang keras, dan memicu keinginan yang kuat dalam diri saya untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Saya menyaksikan sendiri bagaimana banyak orang di Aceh, terutama di daerah-daerah terpencil, hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, air bersih, dan tempat tinggal yang layak. Akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan juga sangat terbatas. Ironisnya, di tengah kondisi yang serba kekurangan ini, semangat gotong royong dan solidaritas masyarakat Aceh sangat tinggi. Kita saling membantu dan mendukung satu sama lain dalam menghadapi tantangan hidup.

    Ketidakadilan yang saya saksikan membuat saya menangis. Saya tidak mengerti mengapa ada orang yang harus hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, sementara yang lain ironis. Saya bertanya-tanya, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mengubah keadaan ini? Pertanyaan ini membawa saya pada satu jawaban: menjadi seorang dokter. Saya ingin mengabdikan diri untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan, terutama mereka yang tidak mampu. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya menyembuhkan penyakit fisik, tetapi juga memberikan dukungan bagi pasien.

    Saya menyadari bahwa menjadi seorang dokter bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti jam kerja yang panjang, tekanan, dan keterbatasan sumber daya. Namun, saya yakin bahwa dengan niat yang tulus dan kerja keras, saya bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya berpraktik di kota-kota besar, tetapi juga bersedia terjun ke daerah-daerah terpencil di Aceh. Saya ingin membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sini, memberikan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, dan mengedukasi mereka tentang pentingnya menjaga kesehatan.

    Selain menjadi dokter, saya juga ingin terlibat dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan. Saya ingin membantu memberdayakan masyarakat, memberikan mereka keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Saya juga ingin menjadi advokat bagi mereka yang tidak memiliki suara, memperjuangkan hak-hak mereka, dan menyuarakan aspirasi mereka.

    Saya percaya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Tidak peduli seberapa kecil kontribusi yang kita berikan, jika dilakukan dengan tulus dan konsisten, pasti akan memberikan dampak yang besar. Saya ingin menjadi bagian dari perubahan positif di Aceh, memberikan kasih dan berkat bagi banyak orang.

    Saya menyadari bahwa perjalanan saya masih panjang. Ada banyak hal yang perlu saya pelajari dan persiapkan. Namun, saya yakin bahwa dengan dukungan dari keluarga, teman-teman, dan orang-orang yang peduli, saya bisa mencapai tujuan saya. Saya berharap artikel ini dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Mari bersama-sama membangun Aceh yang lebih baik, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup sehat, sejahtera, dan bahagia.

    Di tengah hiruk pikuk kehidupan dan tantangan yang tak terhindarkan, saya belajar untuk menghargai setiap momen dan setiap interaksi dengan orang lain. Saya belajar untuk bersyukur atas nikmat Tuhan yang saya miliki, dan menggunakan hal ini untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Saya percaya bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang diabdikan untuk melayani sesama. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya secara klinis, tetapi juga memiliki empati dan kepedulian yang mendalam terhadap pasien. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga memberikan harapan dan semangat bagi mereka yang sedang berjuang. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya bekerja di rumah sakit, tetapi juga terjun ke masyarakat, memberikan pelayanan kesehatan dan edukasi kepada masyarakat.

    Saya ingin menjadi dokter yang menginspirasi, yang memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya dikenal karena keahliannya, tetapi juga karena kebaikan hatinya dan kontribusinya bagi masyarakat. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Saya percaya bahwa setiap orang memiliki peran penting dalam masyarakat. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi positif, sekecil apapun. Saya memilih untuk menjadi dokter, karena saya percaya bahwa ini adalah panggilan jiwa saya. Saya merasa terpanggil untuk membantu orang lain, untuk meringankan penderitaan mereka, dan untuk memberikan mereka harapan.

    Saya berharap tulisan ini dapat menjadi inspirasi bagi orang lain, terutama bagi generasi muda Aceh. Mari bersama-sama membangun Aceh yang lebih baik, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih impian mereka. Mari bersama-sama menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan bahagia.

    Salam sayang

    Raneey

 

Kenapa Ingin Menjadi Dokter?

Kenapa Ingin Menjadi Dokter?


Assalamualaikum semua, lama sekali rasanya saya belum menulis lagi, di tengah sibuknya pendidikan dan beragam aktivitas lainnya. Teman-teman pasti tau sebelumnya saya pernah mengenyam pendidikan di bidang Informatika kan? Bisa baca ceritanya di sini. Namun, memutuskan untuk mengundurkan diri dan melanjutkan pendidikan di kedokteran.



Sentuhan Dokter Kecil

Saya yakin banyak di antara kita yang punya kenangan masa kecil yang membekas, ya kan? Nah, salah satu kenangan yang paling kuat dalam benak saya adalah saat saya menjadi dokter kecil. Waktu itu, saya ikut pelatihan dokter kecil yang diadakan di sekolah. Ternyata saya menikmati bermain peran menjadi dokter dengan teman-teman. Saya membuat resep-resep khayalan, memeriksa "pasien" dengan stetoskop mainan, dan lainnya. Rasanya menyenangkan sekali bisa "menyembuhkan" orang lain, meskipun hanya dalam permainan. Dari situlah benih ketertarikan saya pada dunia medis mulai tumbuh. Saya merasa seperti detektif yang sedang memecahkan kasus dan itu sangat membuat saya bersemangat.


Dokter Pertama di Keluarga

Selain itu, ada faktor lain yang juga memengaruhi pilihan saya. Saya ingin menjadi dokter pertama di keluarga inti saya. Ibu saya memang tenaga medis, tetapi bukan dokter. Saya ingin memberikan kontribusi nyata bagi kesehatan keluarga dan masyarakat sekitar. Saya ingin menjadi sosok yang bisa diandalkan dalam situasi darurat medis. Saya ingin membuktikan bahwa perempuan Aceh juga bisa berprestasi di bidang kedokteran.


Jati Diri Perempuan Aceh

Menjadi perempuan Aceh yang berprofesi sebagai dokter adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya. Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Saya ingin menginspirasi perempuan-perempuan lain untuk mengejar mimpi mereka, apapun bidangnya. Saya ingin memiliki jati diri yang kuat sebagai perempuan Aceh yang mandiri dan berdedikasi.


Interaksi Sosial yang Membahagiakan

Salah satu hal yang paling saya sukai dari profesi dokter adalah interaksi sosial yang intens. Saya senang bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, mendengarkan cerita mereka, dan membantu mereka mengatasi masalah kesehatan. Saya percaya bahwa komunikasi yang baik antara dokter dan pasien adalah kunci keberhasilan pengobatan. Saya ingin menjadi dokter yang tidak hanya kompeten dalam bidang medis, tetapi juga empatik dan peduli terhadap pasien.


Membangun Jembatan Kesehatan

Kedokteran adalah pilihan yang menantang, tetapi juga sangat memuaskan. Saya menyadari bahwa perjalanan saya masih panjang, tetapi saya yakin bahwa dengan kerja keras, dedikasi, dan dukungan dari orang-orang terdekat, saya bisa mencapai tujuan saya. Saya ingin menjadi dokter yang компетентный, profesional, dan berintegritas. Saya ingin memberikan kontribusi positif bagi kesehatan masyarakat, khususnya di Aceh.


Saya berharap tulisan ini bisa memberikan gambaran tentang alasan saya memilih kedokteran. Jika kamu punya pertanyaan atau ingin berbagi cerita, jangan ragu untuk menulis di kolom komentar, ya!


Salam sayang dan salam sehat!

          Raneey

Inklusivitas dan Partisipasi Perempuan Aceh di Ranah Politik

Inklusivitas dan Partisipasi Perempuan Aceh di Ranah Politik

Inong Aceh: Pemerintah harus jamin hak politik perempuan dalam pilkada -  ANTARA News

Terlahir menjadi perempuan rasanya campur aduk. Terutama kini di tengah dunia yang lebih mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin dan menomorduakan perempuan hanya dengan dalih “karena kamu perempuan.” Sebuah alasan yang bagi saya tidak masuk akal. Kondisi ketimpangan itu terjadi berdasar jenis kelamin yang jelas tidak dapat dipilih.

Ketimpangan akses terhadap ranah politik antara laki-laki dan perempuan juga masih kerap terjadi, terutama di Bumoe Seuramoe Mekkah. Terlahir di Provinsi Aceh, saya sering mengamati dinamika perpolitikan yang cukup unik karena memiliki dimensi politik yang berbeda dibandingkan daerah lain. Gaung politik Aceh dimeriahi dengan partisipasi partai politik lokal, tampak pada perhelatan pesta politik 2024. Hanya Acehlah daerah yang 'mampu meloloskan' enam partai politik lokal untuk berlaga di tahun 2024. Namun faktor-faktor tersebut menjadi hambatan dan sekaligus tantangan bagi keterlibatan perempuan Aceh dalam ranah politik praktis. Baik sebagai kader partai politik atau berpartisipasi aktif dalam proses pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh.

Memang tidak ada larangan khusus yang lugas melarang partisipasi perempuan di ranah politik di Aceh. Namun, bagi perempuan Aceh untuk mendapatkan posisi 'strategis' di struktur kepemimimpinan partai politik merupakan hal yang kontroversial. Perlu ada refleksi mengenai riwayat kepemimpinan Aceh hari ini, antara lain: Apa yang menyebabkan kepemimpinan perempuan Aceh seolah terlupakan dan mati suri? Mengapa sejak dimulainya pemilihan kepala daerah belum pernah ada perempuan Aceh yang mencatatkan namanya sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur? Di manakah letak problematikanya?

Demi upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, pada tahun 2003 Indonesia menetapkan kebijakan kuota minimum 30 persen untuk kandidat perempuan. Sejak diberlakukannya kebijakan tersebut, terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh. Pada pemilihan umum legislatif tahun 2019, perempuan berhasil meraih 28,3 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Keterlibatan perempuan di organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat di Aceh juga tinggi. Meskipun terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh, tetapi masih terdapat berbagai kendala yang dihadapi. Beberapa di antaranya adalah norma sosial yang menganggap perempuan tidak layak untuk berpolitik, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan politik, serta kurangnya dukungan dari partai politik dan keluarga.

Aturan kuota minimum representasi perempuan tersebut juga terkait pada pencalonan DPRA yang realisasinya tidak mudah di Aceh. Norma sosial di Aceh masih memandang perempuan tidak layak untuk memimpin karena dianggap kurang kompeten dan tidak mampu menangani persoalan politik yang kompleks. Hal itu juga berkaitan dengan kepercayaan mayoritas yang menitikberatkan tanggung jawab kepemimpinan pada laki- laki. Padahal banyak sejarahwan yang sudah mengkonfirmasi tentang banyaknya contoh keterlibatan perempuan dalam berbagai posisi penting sejak zaman kerajaan-kerajaan di Aceh. Meskipun demikian masih ada saja narasi sejarah yang mendiskreditkan posisi perempuan seperti penggambaran Sultanah Aceh yang dianggap sebagai lambang saja karena dikendalikan oleh orang-orang kaya. Padahal, narasi itu sama sekali tidak dibangun berdasarkan fakta sejarah (Chaerol 2021, 1-6).

Saat ini Aceh masih memiliki struktur politik yang patriarkal, di mana kekuasaan dan akses terhadap sumber daya dimonopoli oleh 'kelompok' tertentu yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Hal ini selaras dengan studi yang dilakukan oleh Alex, dkk., (2023) yang menunjukkan pasca tsunami 2004 dan perjanjian MoU Helsinki 2005 adanya keterbukaan dan peluang bagi perempuan Aceh untuk menjadi anggota legislatif. 

Saat ini peluang itu mengalami hambatan karena faktor struktural, sosial budaya, isu agama, ideologi dan dominasi elit partai politik lokal Aceh oleh laki-laki.

Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan Aceh menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural maupun kultural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial seharusnya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Khairunnas, Daulay, dan Saladin 2022). Hal ini sangat mempengaruhi keterwakilan perempuan dalam politik dan pemerintahan Aceh, walau sepanjang tahun pemilu 2009 sampai 2019 keterwakilan perempuan di otoritas Aceh mengalami tren peningkatan yang cukup baik (Alex, et.al., 2023). Meskipun demikian, peningkatan tersebut tak menapik adanya tekanan dan diskriminasi terhadap pemimpin perempuan.

Berdasarkan data statistik keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia, Provinsi Aceh menempati posisi terendah, yaitu 11,11 persen setelah Pemilu 2019. Dibanding itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki persentase keterwakilan perempuan dalam politik tertinggi di Indonesia sebesar 58,82 persen (Alex, et.al., 2023). Data tersebut menjadi cermin untuk mendorong perubahan menuju Aceh yang saya cita-citakan. Perlu ada upaya memberikan kepercayaan terhadap kaum perempuan untuk terlibat di berbagai posisi penting di pemerintahan, sehingga adanya keterwakilan perempuan dalam tiap pengambilan kebijakan. Tentu perubahan itu bukan sekadar untuk memenuhi kuota partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Dominasi laki-laki dalam partai politik maupun yang terpilih di parlemen akan membuat kurangnya keterlibatan perempuan dalam memutuskan suatu kebijakan.

Memang, pemerintah sudah berupaya menetapkan Undang-Undang Nomor dua dan Nomor sepuluh Tahun 2008 tentang Partai Politik, terkait porsi keterwakilan perempuan dalam aktivitas politik minimal 30 persen kuota. Namun impelementasi Undang-Undang ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh perempuan di Aceh, terbukti dari jumlah dominasi laki-laki di setiap bidang yang ada. Sebagian partai politik mencalonkan perempuan sebagai legislatif hanya untuk sekadar melengkapi syarat administrasi pencalonan, supaya calon yang lain tidak gugur. Selain itu, masih sangat disayangkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, pengambilan keputusan masih dikendalikan oleh laki-laki (Khairunnas, Daulay, dan Saladin 2022).

Meningkatnya inklusivitas dan partisipasi perempuan Aceh di ranah politik adalah harapan yang penting diupayakan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kesadaran kaum muda terutama masyarakat Aceh tentang pentingnya partisipasi politik perempuan. Usaha untuk peningkatan partisipasi daerah Aceh memang membutuhkan strategi tersendiri. Hal ini dapat dimulai dengan pendekatan yang melibatkan tokoh- tokoh agama, masyarakat adat, dan organisasi perempuan lokal yang progressif. Selain itu, kita perlu mengajak partai politik merekrut dan mencalonkan lebih banyak perempuan dalam kontestasi politik termasuk memberikan dukungan finansial dan teknis kepada perempuan yang mencalonkan diri.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah berupaya untuk memberikan akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan politik seluas-luasnya. Upaya ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk terlibat dalam dunia politik sebagai representasi perempuan dalam struktur pemerintahan dan birokrasi di Aceh. Langkah ini dapat membantu memperkuat keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu perlu adanya pengembangan pengetahuan melalui media sosial dan jaringan perempuan. Saya merasa dengan adanya upaya dan keseriusan menciptakan inklusivitas ini, diharapkan partisipasi politik perempuan di Aceh dapat meningkat. Kemajuan itu bakal turut memperkuat demokrasi baik skala lokal atau nasional, serta mewujudkan kesetaraan gender dalam politik.



referensi:

Alex A, Nasiwan N, Abdillah A, Haris M. Women in local politics: Insights from Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Masyarakat, Kebud dan Polit. 2023;36(1).

Chaerol R. Kepemimpinan Perempuan Aceh; Sebuah Tinjauan Historis. 2021. Khairunnas M, Daulay H, Saladin TI. Kepemimpinan Perempuan Aceh. Perspektif. 2022;11(4):.

Memoar: Kekuatan Cinta

Memoar: Kekuatan Cinta

 19 September 2023

            Pertama kalinya bertugas di ruang intensif anak, kerap disebut ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU), anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital. Beragam diagnosis, di PICU tersedia empat bed dan saat kami sedang bertugas di PICU, keempatnya penuh, perlahan hari demi hari,  ketiganya berpulang hanya seorang pasien remaja yang saat ini berada dalam pemantauan kami. Kami mendoakan dan menyebutnya pejantan tangguh.

            “Ya Allah, sakittt, astaghfirullah, ya Allah, mama…”

Kuakui, pasien tersebut sangat menarik perhatianku. Dalam kesakitannya, dan kulitnya yang semakin melepuh, terucap kata-kata baik dan ilahiah. Sangat sabar dan cerdas. Meningococcemia, penyakit yang baru kuketahui namanya setelah bertemu dengannya. Betapa nyerinya, saat ia kesakitan, sangat mudah diajak untuk berjuang pulih bersama.

            “Adik kelas berapa?”

            “Kelas 1, pesantren,” jawabnya ramah. 

“Awalnya sakitnya bagaimana?”

“Awalnya, merah-merah, muncul satu di kulit kemudian makin lama makin banyak…..”  Remaja ini begitu kooperatif dan komunikatif, untuk mempelajarinya pun seolah sedang bercakap dengan adik sendiri. Rasa-rasanya, harapanku agar ia segera pulih. Saat kesakitan pun senyumnya begitu menenangkan, anak baik semoga Allah menyembuhkanmu.

Di kala jam kunjung, Ibunya mengunjunginya, mengelus kepalanya, mendoakan, dan menemani buah hatinya yang sedang diuji Allah dengan cobaan. Raut wajah kebaikan terpancar dari senyuman dan keramahannya. Hari-hari berlalu, aku sangat memahami berada di ruang intensif bagi pasien dengan kesadaran baik, terasa sangat membosankan. Hanya ada suara bip…bip..bip.., monitor, bed tak berpenghuni, dan paramedis yang bertugas.

Sesekali, saat sedang bertugas kuajaknya bicara lagi.

“Bosan nggak dek?”

“Bosan kali, Kak.” Bukan untuk mendalami penyakitnya, tetapi untuk menghibur dan lebih dekat dengannya. Aku jadi tahu ia senang bermain game online, gemar belajar, menyukai makanan manis, dan takut anjing galak. Senyum merekah mengembang di wajahnya, sayangnya pipinya tak mengembang karena  penurunan berat badan. Menurutku berbincang dengannya cukup hangat, aku jadi tahu bahwa terkadang ada banyak hal yang tak dapat diprediksi tentang hidup ini. Termasuk dengan rasa sakit. Siapa sangka, remaja yang tak banyak berinteraksi dengan dunia luar, berfokus pada pendidikan dan agama tiba-tiba menjadi pasien intensif?

Hidup dan dinamikanya benar-benar tak tertebak.

 

            Setiap hari kami terus memantau perkembangan satu-satunya pasien di intensif, pejantan tangguh yang kuat. Hari, demi hari ia tampak lebih bugar dari biasanya. Hingga kabar bahagia, ia akan dipindah ke bangsal. Artinya ia perbaikan dan stabil!

            “Nanti kita ketemu di ruangan ya,” ucapku saat menghampirinya.

Ibunya tersenyum dan terharu, “Semoga cepat bisa membaik dan pulang juga ya.” 

Beberapa kali di luar, kerap kumelihat sang ibu yang menunggu buah hatinya. Harap-harap cemas, tetapi cukup tegar untuk suatu ujian. Pernah pula saat sedang bertugas jaga, tak sengaja berpapasan dengan sang ibu saat hendak bersujud padaNya. Dinding ratapan asa, masjid rumah sakit menjadi tempat penuh dengan doa-doa dan harapan. Beragam doa dilangitkan, meminta kebaikan dan kemurahan dari sang pencipta untuk orang-orang terkasih. Katanya, dinding rumah sakit menyaksikan derita dan harapan. Dinding-dinding yang mengeja cerita perjuangan, sejuta harapan terpatri dalam setiap catatan. Ia menyembunyikan rahasia dan doa, menemani kita dalam perih, mengingatkan bahwa di antara duka dan kebahagiaan,

            “Assalamualaikum adik ganteng! Sudah semakin bagus ya. Ini bekasnya pun semakin memudar, adik hebat! Katanya sudah persiapan pulang ya?” Aku tersenyum dan melihat sekeliling, mataku tertuju pada binar mata kebahagiaan keluarga ini.

            “Iya, alhamdulillah sudah hampir satu bulan juga kami di sini, sudah perbaikan dan nanti kontrol di Poli Anak,” jawab ibunya berbinar.

Alhamdulillah, kami pun berbincang bercerita bagaimana awal rintihan pantauan intensif hingga kebahagiaan kembali ke kampung halaman, akan segera.

Ternyata begini ya rasanya melihat dan merasakan kebahagiaan pasien yang pulih, nurani dipenuhi kupu-kupu, dan raga dihiasi oleh cinta.

Layaknya  bunga yang kembali mekar setelah musim dingin yang panjang. Nyala  sinar terang  menembus awan kelabu, membawa kesegaran dan harapan setelah badai dahsyat berlalu.

 

“Hati-hati di jalan! Jangan lupa kontrol ke poli ya”

 Ia pulang, dengan senyuman.

 

Darinya, aku belajar, tak ada yang tahu nasib manusia. Dinamika hidup adalah teka-teki yang tak pernah terungkap, selalu berubah dan penuh misteri. Ada yang hari ini sehat besok tiada, hari ini tampak sedang meregang nyawa ternyata esoknya sudah tertawa, yang tampak tak ada harapan ternyata diberi kekuatan dan kesembuhan. Hidup dan dinamika, kita mungkin tak bisa mengendalikan semua perubahan, tapi kita bisa belajar berdansa dengan arusnya. Belajar menerima bahwa tak ada yang sia-sia.

Ada keajaiban penyembuhan dan kasih sayang tanpa batas,

dan ada kekuatan dari melangitkan doa-doa.

 

Memoar: Tangisan Hari Raya

Memoar: Tangisan Hari Raya

 21 April 2023

Rasanya, jadwal jagaku tak ramah pada hari raya. Saat di luar beraya ria, dengan nastar, lontong, dan sumringah busana baru. Aku, menetap di rumah sakit dengan segala dinamikanya. Kali ini pula, rasanya akan jadi hari berbahagia dan paling menyedihkan bagi sebuah keluarga.

            “Kak, ayah saya bagaimana?” tanya seorang gadis kecil, kira-kira kelas empat SD. Gadis bermata indah dengan tatapan cemas campur harap.

Aku bingung menjawabnya, bukan karena tidak mengetahui kondisinya. Namun, bingung bagaimana aku bisa jujur pada gadis yang masih lugu dan penuh harap ini.

            “Saat ini sedang dievaluasi, dan ini akan dikonfirmasi lagi oleh dokter penanggung jawab ya, doakan agar ayahnya diberi kekuatan dan segera membaik ya.” Mungkin itu adalah jawaban terbaik yang dapat kuberikan. Melihat keadaan pasien saat dirujuk sudah dalam keadaan berada di titik yang kritis. Perjalanan yang jauh dari daerah, perlahan menjadikan tubuhnya semakin melemah. Rasa-rasanya akses kesehatan di daerah harus semakin mumpuni, betapa banyak pasien yang datang dalam keadaan kritis bukan karena tak tertangani, akan tetapi perjalanan penyakit selama perjalanan menggerogoti tubuhnya segera.

            Pasien, pria paruh baya semakin penurunan kesadaran, ia menolak dan membuang semua alat untuk memantau tubuhnya di monitor, ia meracau, gadis bermata indah itu memeluk ibunya. “Mak, ayah akan sembuh kan?” 

Ibunya menatap kami satu persatu, mulai dari dokter, perawat, ners muda, dan dokter muda yang sedang berusaha. Tatapan penuh harap, tetapi mengerti pada akhirnya. Segala upaya telah dilakukan, keluarga mulai berdatangan setelah menempuh perjalanan malam penuh. Menatap, dan kemudian seolah mengisyaratkan keikhlasan dengan air mata.

            Aku terbayang, betapa banyak kemungkinan yang ada. Melihat tenaga kesehatan sudah berpeluh melakukan tindakan, aku terkagum. Aku harus berdedikasi jua, suatu saat. Akses kesehatan semakin memadai di semua penjuru daerah.

Aku hanya tersenyum, mataku sayu, saling menatap dan memiringkan kepala perlahan. Isyarat, terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Pelukan mereka semakin erat, air mata kian mengalir deras. 

Seorang gadis semata wayang menjadi yatim di hari raya.