INKLUSIVITAS DAN PARTISIPASI PEREMPUAN ACEH DI RANAH POLITIK
Terlahir menjadi perempuan rasanya campur aduk. Terutama kini di tengah dunia yang lebih mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin dan menomorduakan perempuan hanya dengan dalih “karena kamu perempuan.” Sebuah alasan yang bagi saya tidak masuk akal. Kondisi ketimpangan itu terjadi berdasar jenis kelamin yang jelas tidak dapat dipilih.
Ketimpangan akses terhadap ranah politik antara laki-laki dan perempuan juga masih kerap terjadi, terutama di Bumoe Seuramoe Mekkah. Terlahir di Provinsi Aceh, saya sering mengamati dinamika perpolitikan yang cukup unik karena memiliki dimensi politik yang berbeda dibandingkan daerah lain. Gaung politik Aceh dimeriahi dengan partisipasi partai politik lokal, tampak pada perhelatan pesta politik 2024. Hanya Acehlah daerah yang 'mampu meloloskan' enam partai politik lokal untuk berlaga di tahun 2024. Namun faktor-faktor tersebut menjadi hambatan dan sekaligus tantangan bagi keterlibatan perempuan Aceh dalam ranah politik praktis. Baik sebagai kader partai politik atau berpartisipasi aktif dalam proses pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh.
Memang tidak ada larangan khusus yang lugas melarang partisipasi perempuan di ranah politik di Aceh. Namun, bagi perempuan Aceh untuk mendapatkan posisi 'strategis' di struktur kepemimimpinan partai politik merupakan hal yang kontroversial. Perlu ada refleksi mengenai riwayat kepemimpinan Aceh hari ini, antara lain: Apa yang menyebabkan kepemimpinan perempuan Aceh seolah terlupakan dan mati suri? Mengapa sejak dimulainya pemilihan kepala daerah belum pernah ada perempuan Aceh yang mencatatkan namanya sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur? Di manakah letak problematikanya?
Demi upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, pada tahun 2003 Indonesia menetapkan kebijakan kuota minimum 30 persen untuk kandidat perempuan. Sejak diberlakukannya kebijakan tersebut, terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh. Pada pemilihan umum legislatif tahun 2019, perempuan berhasil meraih 28,3 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Keterlibatan perempuan di organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat di Aceh juga tinggi. Meskipun terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh, tetapi masih terdapat berbagai kendala yang dihadapi. Beberapa di antaranya adalah norma sosial yang menganggap perempuan tidak layak untuk berpolitik, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan politik, serta kurangnya dukungan dari partai politik dan keluarga.
Aturan kuota minimum representasi perempuan tersebut juga terkait pada pencalonan DPRA yang realisasinya tidak mudah di Aceh. Norma sosial di Aceh masih memandang perempuan tidak layak untuk memimpin karena dianggap kurang kompeten dan tidak mampu menangani persoalan politik yang kompleks. Hal itu juga berkaitan dengan kepercayaan mayoritas yang menitikberatkan tanggung jawab kepemimpinan pada laki- laki. Padahal banyak sejarahwan yang sudah mengkonfirmasi tentang banyaknya contoh keterlibatan perempuan dalam berbagai posisi penting sejak zaman kerajaan-kerajaan di Aceh. Meskipun demikian masih ada saja narasi sejarah yang mendiskreditkan posisi perempuan seperti penggambaran Sultanah Aceh yang dianggap sebagai lambang saja karena dikendalikan oleh orang-orang kaya. Padahal, narasi itu sama sekali tidak dibangun berdasarkan fakta sejarah (Chaerol 2021, 1-6).
Saat ini Aceh masih memiliki struktur politik yang patriarkal, di mana kekuasaan dan akses terhadap sumber daya dimonopoli oleh 'kelompok' tertentu yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Hal ini selaras dengan studi yang dilakukan oleh Alex, dkk., (2023) yang menunjukkan pasca tsunami 2004 dan perjanjian MoU Helsinki 2005 adanya keterbukaan dan peluang bagi perempuan Aceh untuk menjadi anggota legislatif.
saat ini peluang itu mengalami hambatan karena faktor struktural, sosial budaya, isu agama, ideologi dan dominasi elit partai politik lokal Aceh oleh laki-laki.
Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan Aceh menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural maupun kultural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial seharusnya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Khairunnas, Daulay, dan Saladin 2022). Hal ini sangat mempengaruhi keterwakilan perempuan dalam politik dan pemerintahan Aceh, walau sepanjang tahun pemilu 2009 sampai 2019 keterwakilan perempuan di otoritas Aceh mengalami tren peningkatan yang cukup baik (Alex, et.al., 2023). Meskipun demikian, peningkatan tersebut tak menapik adanya tekanan dan diskriminasi terhadap pemimpin perempuan.
Berdasarkan data statistik keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia, Provinsi Aceh menempati posisi terendah, yaitu 11,11 persen setelah Pemilu 2019. Dibanding itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki persentase keterwakilan perempuan dalam politik tertinggi di Indonesia sebesar 58,82 persen (Alex, et.al., 2023). Data tersebut menjadi cermin untuk mendorong perubahan menuju Aceh yang saya cita-citakan. Perlu ada upaya memberikan kepercayaan terhadap kaum perempuan untuk terlibat di berbagai posisi penting di pemerintahan, sehingga adanya keterwakilan perempuan dalam tiap pengambilan kebijakan. Tentu perubahan itu bukan sekadar untuk memenuhi kuota partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Dominasi laki-laki dalam partai politik maupun yang terpilih di parlemen akan membuat kurangnya keterlibatan perempuan dalam memutuskan suatu kebijakan.
Memang, pemerintah sudah berupaya menetapkan Undang-Undang Nomor dua dan Nomor sepuluh Tahun 2008 tentang Partai Politik, terkait porsi keterwakilan perempuan dalam aktivitas politik minimal 30 persen kuota. Namun impelementasi Undang-Undang ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh perempuan di Aceh, terbukti dari jumlah dominasi laki-laki di setiap bidang yang ada. Sebagian partai politik mencalonkan perempuan sebagai legislatif hanya untuk sekadar melengkapi syarat administrasi pencalonan, supaya calon yang lain tidak gugur. Selain itu, masih sangat disayangkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, pengambilan keputusan masih dikendalikan oleh laki-laki (Khairunnas, Daulay, dan Saladin 2022).
Meningkatnya inklusivitas dan partisipasi perempuan Aceh di ranah politik adalah harapan yang penting diupayakan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kesadaran kaum muda terutama masyarakat Aceh tentang pentingnya partisipasi politik perempuan. Usaha untuk peningkatan partisipasi daerah Aceh memang membutuhkan strategi tersendiri. Hal ini dapat dimulai dengan pendekatan yang melibatkan tokoh- tokoh agama, masyarakat adat, dan organisasi perempuan lokal yang progressif. Selain itu, kita perlu mengajak partai politik merekrut dan mencalonkan lebih banyak perempuan dalam kontestasi politik termasuk memberikan dukungan finansial dan teknis kepada perempuan yang mencalonkan diri.
Hal yang tak kalah pentingnya adalah berupaya untuk memberikan akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan politik seluas-luasnya. Upaya ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk terlibat dalam dunia politik sebagai representasi perempuan dalam struktur pemerintahan dan birokrasi di Aceh. Langkah ini dapat membantu memperkuat keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu perlu adanya pengembangan pengetahuan melalui media sosial dan jaringan perempuan. Saya merasa dengan adanya upaya dan keseriusan menciptakan inklusivitas ini, diharapkan partisipasi politik perempuan di Aceh dapat meningkat. Kemajuan itu bakal turut memperkuat demokrasi baik skala lokal atau nasional, serta mewujudkan kesetaraan gender dalam politik.
referensi:
Alex A, Nasiwan N, Abdillah A, Haris M. Women in local politics: Insights from Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Masyarakat, Kebud dan Polit. 2023;36(1).
Chaerol R. Kepemimpinan Perempuan Aceh; Sebuah Tinjauan Historis. 2021. Khairunnas M, Daulay H, Saladin TI. Kepemimpinan Perempuan Aceh. Perspektif. 2022;11(4):.