Heyraneey | Sharing is caring
INKLUSIVITAS DAN PARTISIPASI PEREMPUAN ACEH DI RANAH POLITIK

INKLUSIVITAS DAN PARTISIPASI PEREMPUAN ACEH DI RANAH POLITIK

Inong Aceh: Pemerintah harus jamin hak politik perempuan dalam pilkada -  ANTARA News

Terlahir menjadi perempuan rasanya campur aduk. Terutama kini di tengah dunia yang lebih mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin dan menomorduakan perempuan hanya dengan dalih “karena kamu perempuan.” Sebuah alasan yang bagi saya tidak masuk akal. Kondisi ketimpangan itu terjadi berdasar jenis kelamin yang jelas tidak dapat dipilih.

Ketimpangan akses terhadap ranah politik antara laki-laki dan perempuan juga masih kerap terjadi, terutama di Bumoe Seuramoe Mekkah. Terlahir di Provinsi Aceh, saya sering mengamati dinamika perpolitikan yang cukup unik karena memiliki dimensi politik yang berbeda dibandingkan daerah lain. Gaung politik Aceh dimeriahi dengan partisipasi partai politik lokal, tampak pada perhelatan pesta politik 2024. Hanya Acehlah daerah yang 'mampu meloloskan' enam partai politik lokal untuk berlaga di tahun 2024. Namun faktor-faktor tersebut menjadi hambatan dan sekaligus tantangan bagi keterlibatan perempuan Aceh dalam ranah politik praktis. Baik sebagai kader partai politik atau berpartisipasi aktif dalam proses pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh.

Memang tidak ada larangan khusus yang lugas melarang partisipasi perempuan di ranah politik di Aceh. Namun, bagi perempuan Aceh untuk mendapatkan posisi 'strategis' di struktur kepemimimpinan partai politik merupakan hal yang kontroversial. Perlu ada refleksi mengenai riwayat kepemimpinan Aceh hari ini, antara lain: Apa yang menyebabkan kepemimpinan perempuan Aceh seolah terlupakan dan mati suri? Mengapa sejak dimulainya pemilihan kepala daerah belum pernah ada perempuan Aceh yang mencatatkan namanya sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur? Di manakah letak problematikanya?

Demi upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, pada tahun 2003 Indonesia menetapkan kebijakan kuota minimum 30 persen untuk kandidat perempuan. Sejak diberlakukannya kebijakan tersebut, terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh. Pada pemilihan umum legislatif tahun 2019, perempuan berhasil meraih 28,3 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Keterlibatan perempuan di organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat di Aceh juga tinggi. Meskipun terjadi peningkatan partisipasi politik perempuan di Aceh, tetapi masih terdapat berbagai kendala yang dihadapi. Beberapa di antaranya adalah norma sosial yang menganggap perempuan tidak layak untuk berpolitik, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan politik, serta kurangnya dukungan dari partai politik dan keluarga.

Aturan kuota minimum representasi perempuan tersebut juga terkait pada pencalonan DPRA yang realisasinya tidak mudah di Aceh. Norma sosial di Aceh masih memandang perempuan tidak layak untuk memimpin karena dianggap kurang kompeten dan tidak mampu menangani persoalan politik yang kompleks. Hal itu juga berkaitan dengan kepercayaan mayoritas yang menitikberatkan tanggung jawab kepemimpinan pada laki- laki. Padahal banyak sejarahwan yang sudah mengkonfirmasi tentang banyaknya contoh keterlibatan perempuan dalam berbagai posisi penting sejak zaman kerajaan-kerajaan di Aceh. Meskipun demikian masih ada saja narasi sejarah yang mendiskreditkan posisi perempuan seperti penggambaran Sultanah Aceh yang dianggap sebagai lambang saja karena dikendalikan oleh orang-orang kaya. Padahal, narasi itu sama sekali tidak dibangun berdasarkan fakta sejarah (Chaerol 2021, 1-6).

Saat ini Aceh masih memiliki struktur politik yang patriarkal, di mana kekuasaan dan akses terhadap sumber daya dimonopoli oleh 'kelompok' tertentu yang umumnya didominasi oleh laki-laki. Hal ini selaras dengan studi yang dilakukan oleh Alex, dkk., (2023) yang menunjukkan pasca tsunami 2004 dan perjanjian MoU Helsinki 2005 adanya keterbukaan dan peluang bagi perempuan Aceh untuk menjadi anggota legislatif. 

saat ini peluang itu mengalami hambatan karena faktor struktural, sosial budaya, isu agama, ideologi dan dominasi elit partai politik lokal Aceh oleh laki-laki.

Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan Aceh menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural maupun kultural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial seharusnya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Khairunnas, Daulay, dan Saladin 2022). Hal ini sangat mempengaruhi keterwakilan perempuan dalam politik dan pemerintahan Aceh, walau sepanjang tahun pemilu 2009 sampai 2019 keterwakilan perempuan di otoritas Aceh mengalami tren peningkatan yang cukup baik (Alex, et.al., 2023). Meskipun demikian, peningkatan tersebut tak menapik adanya tekanan dan diskriminasi terhadap pemimpin perempuan.

Berdasarkan data statistik keterwakilan perempuan dalam politik di Indonesia, Provinsi Aceh menempati posisi terendah, yaitu 11,11 persen setelah Pemilu 2019. Dibanding itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki persentase keterwakilan perempuan dalam politik tertinggi di Indonesia sebesar 58,82 persen (Alex, et.al., 2023). Data tersebut menjadi cermin untuk mendorong perubahan menuju Aceh yang saya cita-citakan. Perlu ada upaya memberikan kepercayaan terhadap kaum perempuan untuk terlibat di berbagai posisi penting di pemerintahan, sehingga adanya keterwakilan perempuan dalam tiap pengambilan kebijakan. Tentu perubahan itu bukan sekadar untuk memenuhi kuota partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik. Dominasi laki-laki dalam partai politik maupun yang terpilih di parlemen akan membuat kurangnya keterlibatan perempuan dalam memutuskan suatu kebijakan.

Memang, pemerintah sudah berupaya menetapkan Undang-Undang Nomor dua dan Nomor sepuluh Tahun 2008 tentang Partai Politik, terkait porsi keterwakilan perempuan dalam aktivitas politik minimal 30 persen kuota. Namun impelementasi Undang-Undang ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh perempuan di Aceh, terbukti dari jumlah dominasi laki-laki di setiap bidang yang ada. Sebagian partai politik mencalonkan perempuan sebagai legislatif hanya untuk sekadar melengkapi syarat administrasi pencalonan, supaya calon yang lain tidak gugur. Selain itu, masih sangat disayangkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, pengambilan keputusan masih dikendalikan oleh laki-laki (Khairunnas, Daulay, dan Saladin 2022).

Meningkatnya inklusivitas dan partisipasi perempuan Aceh di ranah politik adalah harapan yang penting diupayakan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kesadaran kaum muda terutama masyarakat Aceh tentang pentingnya partisipasi politik perempuan. Usaha untuk peningkatan partisipasi daerah Aceh memang membutuhkan strategi tersendiri. Hal ini dapat dimulai dengan pendekatan yang melibatkan tokoh- tokoh agama, masyarakat adat, dan organisasi perempuan lokal yang progressif. Selain itu, kita perlu mengajak partai politik merekrut dan mencalonkan lebih banyak perempuan dalam kontestasi politik termasuk memberikan dukungan finansial dan teknis kepada perempuan yang mencalonkan diri.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah berupaya untuk memberikan akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan politik seluas-luasnya. Upaya ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk terlibat dalam dunia politik sebagai representasi perempuan dalam struktur pemerintahan dan birokrasi di Aceh. Langkah ini dapat membantu memperkuat keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu perlu adanya pengembangan pengetahuan melalui media sosial dan jaringan perempuan. Saya merasa dengan adanya upaya dan keseriusan menciptakan inklusivitas ini, diharapkan partisipasi politik perempuan di Aceh dapat meningkat. Kemajuan itu bakal turut memperkuat demokrasi baik skala lokal atau nasional, serta mewujudkan kesetaraan gender dalam politik.



referensi:

Alex A, Nasiwan N, Abdillah A, Haris M. Women in local politics: Insights from Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Masyarakat, Kebud dan Polit. 2023;36(1).

Chaerol R. Kepemimpinan Perempuan Aceh; Sebuah Tinjauan Historis. 2021. Khairunnas M, Daulay H, Saladin TI. Kepemimpinan Perempuan Aceh. Perspektif. 2022;11(4):.

Menjadi Perempuan, Sebuah Perjalanan Nano-Nano Menuju Keadilan

Menjadi Perempuan, Sebuah Perjalanan Nano-Nano Menuju Keadilan


Terlahir sebagai perempuan memiliki tantangan tersendiri, terutama ketika dunia masih sering mendahulukan laki-laki dalam peran kepemimpinan. Alasan "karena kamu perempuan" menjadi momok yang tidak masuk akal, menciptakan ketimpangan berbasis jenis kelamin—sesuatu yang tidak bisa kita pilih.

Tumbuh besar di Aceh, Serambi Mekkah, memberikan saya banyak pelajaran berharga. Meskipun Aceh memiliki sejarah kepemimpinan perempuan, akses yang setara bagi perempuan masih menjadi tantangan. Akses pendidikan, kesehatan, bahkan kebebasan berpendapat dan berperan seringkali terhambat. Padahal, setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan yang sama.

Indonesia, dengan ideologi Pancasila, menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, termasuk dalam partisipasi dan pengembangan diri. Sayangnya, masih ada anggapan bahwa perempuan tidak mampu memimpin hanya karena gendernya. Padahal, partisipasi politik perempuan sangat penting untuk melahirkan kebijakan yang inklusif dan berpihak pada perempuan.

Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Kita perlu menciptakan lingkungan yang memberdayakan, menghilangkan stigmatisasi, dan mendukung setiap individu untuk berkembang tanpa batasan gender. Gender hanyalah konstruksi sosial, dan kapasitas seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelaminnya.

Saya aktif dalam berbagai kegiatan untuk menjadi agen perubahan sosial, menciptakan lingkungan yang aman dan berdaya bagi perempuan dan laki-laki. Melalui Girls Leadership Academy by Plan Indonesia, saya belajar banyak tentang aktivisme perempuan dan upaya nyata untuk mewujudkan perempuan berdaya.

Sebagai mahasiswa kedokteran, saya berinteraksi dengan pasien tanpa membeda-bedakan, mengamalkan nilai keadilan sosial. Saya percaya perubahan dapat dimulai dari komunitas terkecil. Melalui tulisan di media sosial dan website heyraneey.com, saya menjangkau lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia, menyuarakan isu kesetaraan gender dan mendorong perempuan untuk berani tampil di muka publik.

Saya yakin bahwa konsistensi dalam menyuarakan isu penting. Sebuah tulisan dapat mempengaruhi hidup orang lain dan memberikan ruang aman bagi perempuan untuk berekspresi. Konten digital yang mendukung kesetaraan gender dapat membawa perubahan positif dalam pola pikir dan cara pandang masyarakat.

Saya berharap dapat memperluas wawasan, meningkatkan kualitas tulisan, dan menginspirasi lebih banyak orang untuk peduli terhadap keadilan. Saya percaya, aksi-aksi sederhana yang dilakukan secara konsisten dapat menciptakan dampak yang besar bagi dunia yang lebih berkeadilan. Saya pun berharap akan banyak perempuan Aceh yang membawa dampak perubahan besar, baik tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Amiin.

Memoar: Kekuatan Cinta

Memoar: Kekuatan Cinta

 19 September 2023

            Pertama kalinya bertugas di ruang intensif anak, kerap disebut ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU), anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital. Beragam diagnosis, di PICU tersedia empat bed dan saat kami sedang bertugas di PICU, keempatnya penuh, perlahan hari demi hari,  ketiganya berpulang hanya seorang pasien remaja yang saat ini berada dalam pemantauan kami. Kami mendoakan dan menyebutnya pejantan tangguh.

            “Ya Allah, sakittt, astaghfirullah, ya Allah, mama…”

Kuakui, pasien tersebut sangat menarik perhatianku. Dalam kesakitannya, dan kulitnya yang semakin melepuh, terucap kata-kata baik dan ilahiah. Sangat sabar dan cerdas. Meningococcemia, penyakit yang baru kuketahui namanya setelah bertemu dengannya. Betapa nyerinya, saat ia kesakitan, sangat mudah diajak untuk berjuang pulih bersama.

            “Adik kelas berapa?”

            “Kelas 1, pesantren,” jawabnya ramah. 

“Awalnya sakitnya bagaimana?”

“Awalnya, merah-merah, muncul satu di kulit kemudian makin lama makin banyak…..”  Remaja ini begitu kooperatif dan komunikatif, untuk mempelajarinya pun seolah sedang bercakap dengan adik sendiri. Rasa-rasanya, harapanku agar ia segera pulih. Saat kesakitan pun senyumnya begitu menenangkan, anak baik semoga Allah menyembuhkanmu.

Di kala jam kunjung, Ibunya mengunjunginya, mengelus kepalanya, mendoakan, dan menemani buah hatinya yang sedang diuji Allah dengan cobaan. Raut wajah kebaikan terpancar dari senyuman dan keramahannya. Hari-hari berlalu, aku sangat memahami berada di ruang intensif bagi pasien dengan kesadaran baik, terasa sangat membosankan. Hanya ada suara bip…bip..bip.., monitor, bed tak berpenghuni, dan paramedis yang bertugas.

Sesekali, saat sedang bertugas kuajaknya bicara lagi.

“Bosan nggak dek?”

“Bosan kali, Kak.” Bukan untuk mendalami penyakitnya, tetapi untuk menghibur dan lebih dekat dengannya. Aku jadi tahu ia senang bermain game online, gemar belajar, menyukai makanan manis, dan takut anjing galak. Senyum merekah mengembang di wajahnya, sayangnya pipinya tak mengembang karena  penurunan berat badan. Menurutku berbincang dengannya cukup hangat, aku jadi tahu bahwa terkadang ada banyak hal yang tak dapat diprediksi tentang hidup ini. Termasuk dengan rasa sakit. Siapa sangka, remaja yang tak banyak berinteraksi dengan dunia luar, berfokus pada pendidikan dan agama tiba-tiba menjadi pasien intensif?

Hidup dan dinamikanya benar-benar tak tertebak.

 

            Setiap hari kami terus memantau perkembangan satu-satunya pasien di intensif, pejantan tangguh yang kuat. Hari, demi hari ia tampak lebih bugar dari biasanya. Hingga kabar bahagia, ia akan dipindah ke bangsal. Artinya ia perbaikan dan stabil!

            “Nanti kita ketemu di ruangan ya,” ucapku saat menghampirinya.

Ibunya tersenyum dan terharu, “Semoga cepat bisa membaik dan pulang juga ya.” 

Beberapa kali di luar, kerap kumelihat sang ibu yang menunggu buah hatinya. Harap-harap cemas, tetapi cukup tegar untuk suatu ujian. Pernah pula saat sedang bertugas jaga, tak sengaja berpapasan dengan sang ibu saat hendak bersujud padaNya. Dinding ratapan asa, masjid rumah sakit menjadi tempat penuh dengan doa-doa dan harapan. Beragam doa dilangitkan, meminta kebaikan dan kemurahan dari sang pencipta untuk orang-orang terkasih. Katanya, dinding rumah sakit menyaksikan derita dan harapan. Dinding-dinding yang mengeja cerita perjuangan, sejuta harapan terpatri dalam setiap catatan. Ia menyembunyikan rahasia dan doa, menemani kita dalam perih, mengingatkan bahwa di antara duka dan kebahagiaan,

            “Assalamualaikum adik ganteng! Sudah semakin bagus ya. Ini bekasnya pun semakin memudar, adik hebat! Katanya sudah persiapan pulang ya?” Aku tersenyum dan melihat sekeliling, mataku tertuju pada binar mata kebahagiaan keluarga ini.

            “Iya, alhamdulillah sudah hampir satu bulan juga kami di sini, sudah perbaikan dan nanti kontrol di Poli Anak,” jawab ibunya berbinar.

Alhamdulillah, kami pun berbincang bercerita bagaimana awal rintihan pantauan intensif hingga kebahagiaan kembali ke kampung halaman, akan segera.

Ternyata begini ya rasanya melihat dan merasakan kebahagiaan pasien yang pulih, nurani dipenuhi kupu-kupu, dan raga dihiasi oleh cinta.

Layaknya  bunga yang kembali mekar setelah musim dingin yang panjang. Nyala  sinar terang  menembus awan kelabu, membawa kesegaran dan harapan setelah badai dahsyat berlalu.

 

“Hati-hati di jalan! Jangan lupa kontrol ke poli ya”

 Ia pulang, dengan senyuman.

 

Darinya, aku belajar, tak ada yang tahu nasib manusia. Dinamika hidup adalah teka-teki yang tak pernah terungkap, selalu berubah dan penuh misteri. Ada yang hari ini sehat besok tiada, hari ini tampak sedang meregang nyawa ternyata esoknya sudah tertawa, yang tampak tak ada harapan ternyata diberi kekuatan dan kesembuhan. Hidup dan dinamika, kita mungkin tak bisa mengendalikan semua perubahan, tapi kita bisa belajar berdansa dengan arusnya. Belajar menerima bahwa tak ada yang sia-sia.

Ada keajaiban penyembuhan dan kasih sayang tanpa batas,

dan ada kekuatan dari melangitkan doa-doa.

 

Memoar: Tangisan Hari Raya

Memoar: Tangisan Hari Raya

 21 April 2023

Rasanya, jadwal jagaku tak ramah pada hari raya. Saat di luar beraya ria, dengan nastar, lontong, dan sumringah busana baru. Aku, menetap di rumah sakit dengan segala dinamikanya. Kali ini pula, rasanya akan jadi hari berbahagia dan paling menyedihkan bagi sebuah keluarga.

            “Kak, ayah saya bagaimana?” tanya seorang gadis kecil, kira-kira kelas empat SD. Gadis bermata indah dengan tatapan cemas campur harap.

Aku bingung menjawabnya, bukan karena tidak mengetahui kondisinya. Namun, bingung bagaimana aku bisa jujur pada gadis yang masih lugu dan penuh harap ini.

            “Saat ini sedang dievaluasi, dan ini akan dikonfirmasi lagi oleh dokter penanggung jawab ya, doakan agar ayahnya diberi kekuatan dan segera membaik ya.” Mungkin itu adalah jawaban terbaik yang dapat kuberikan. Melihat keadaan pasien saat dirujuk sudah dalam keadaan berada di titik yang kritis. Perjalanan yang jauh dari daerah, perlahan menjadikan tubuhnya semakin melemah. Rasa-rasanya akses kesehatan di daerah harus semakin mumpuni, betapa banyak pasien yang datang dalam keadaan kritis bukan karena tak tertangani, akan tetapi perjalanan penyakit selama perjalanan menggerogoti tubuhnya segera.

            Pasien, pria paruh baya semakin penurunan kesadaran, ia menolak dan membuang semua alat untuk memantau tubuhnya di monitor, ia meracau, gadis bermata indah itu memeluk ibunya. “Mak, ayah akan sembuh kan?” 

Ibunya menatap kami satu persatu, mulai dari dokter, perawat, ners muda, dan dokter muda yang sedang berusaha. Tatapan penuh harap, tetapi mengerti pada akhirnya. Segala upaya telah dilakukan, keluarga mulai berdatangan setelah menempuh perjalanan malam penuh. Menatap, dan kemudian seolah mengisyaratkan keikhlasan dengan air mata.

            Aku terbayang, betapa banyak kemungkinan yang ada. Melihat tenaga kesehatan sudah berpeluh melakukan tindakan, aku terkagum. Aku harus berdedikasi jua, suatu saat. Akses kesehatan semakin memadai di semua penjuru daerah.

Aku hanya tersenyum, mataku sayu, saling menatap dan memiringkan kepala perlahan. Isyarat, terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Pelukan mereka semakin erat, air mata kian mengalir deras. 

Seorang gadis semata wayang menjadi yatim di hari raya.

 

 

Memoar: Cinta Ibu Bapak

Memoar: Cinta Ibu Bapak

Bagaimana rasanya saat lara dan asa beriringan dengan atau tanpa tujuan?

 

2 April 2023

Menapaki dunia pendidikan, bersumpah atas nama Tuhan menjunjung tinggi moral dan etika. Dokter muda, katanya. Berbincang dengan beragam manusia setiap harinya, bertemu dengan bermacam tipe manusia, dan melihat betapa kompleksnya manusia. Awalnya manusia itu sederhana, nyatanya manusia itu tak terduga. 

 Ada yang tampak sangat menderita, tetapi ternyata bahagia

Ada yang tampak sangat kesusahan, tetapi ternyata mudah.

Ada yang tampak sangat menikmati, tetapi ternyata mengeluh jua.

Tak terduga, manusia dan dinamikanya, kembali terkenang ketika pertama kalinya Aku, melihat betapa hancurnya hati manusia dikarenakan perpisahan, bukan berjangka, tetapi selamanya. Remaja putri, masa ranum-ranumnya keluarga melihat perkembangan putrinya.

            Malam itu, suara teriakan dari luar Instalasi Gawat Darurat berlomba dengan bacaan tarawih pengeras suara. Jelas, raungan kegelisahan, kepanikan, dan juga asa. Tanpa ba bi bu, malam itu menjadi panjang, ada kecemasan juga harapan. Remaja putri, kecelakaan lalu lintas tunggal, cedera kepala berat.

            “Minggir semuaaa! Minggirrrr, anaakkkuuu,” teriakan yang cukup menggemparkan seisi ruangan. Pasien segera dibawa ke resus, triase merah. Malam semakin panjang, beragam tindakan darurat. Namun, Tuhan lebih berpihak padanya. Nadinya melemah, pupil semakin melebar, nafas pun tersengal, dan seketika rasanya ruang IGD kehabisan udara, keluarga pasien mulai memenuhi seisi ruangan.

Seketika teringat kalimat-kalimat yang kubaca di surat kabar, kabar kehilangan dan kematian anak pesohor tanah air.

 

Anak ditinggal mati bapaknya disebut yatim.
Anak ditinggal mati ibunya disebut piatu.
Anak ditinggal mati keduanya disebut yatim piatu.
Istri ditinggal mati suaminya disebut janda.
Suami ditinggal mati istri disebut duda.

Namun, pernah dengar istilah orang tua yang ditinggal mati anaknya? Tidak ada.

Tidak ada kata yang mampu menggambarkan kesedihan ditinggalkan oleh buah hati tercinta.

Ada hati yang berkecamuk, ada jiwa yang runtuh, ada harapan yang tak tersemogakan lagi. Rasanya kakiku tak mampu menopang beban tubuh ini, lemas. Pertama kalinya, aku menyentuh manusia tepat di detik-detik antara ada dan tiada.

            Mungkin terkesan sederhana ya?

Tidak, bagiku yang baru menginjakkan kaki di rotasi klinik, pertama kalinya pula bermalam, ah aku tidak menyebutkan bermalam, tetapi jaga. Kematian, tepat di hadapanku. Seorang remaja putri, anak pertama pula. Saat itu, aku merasa dihadapkan pada kenyataan, bahwa hidup itu adalah milik yang kuasa. Tak ada yang mampu menghentikan, sekeras apa pun berusaha, Ia akan kembali pada-Nya.

Aku, pertama kalinya mendengar jeritan perpisahan. Tembok rumah sakit, kali ini mendengar jeritan kehilangan, entah ke berapa. Namun, kuyakin ini bukan kali pertamanya.

 

[PENGALAMAN: Young Progressive Academy Batch 2]

[PENGALAMAN: Young Progressive Academy Batch 2]

Assalamualaikum. Hai!

Akhirnya bisa nulis lagi terkait pengalaman, kali ini kegiatan yang saya ikut adalah Young Progressive Academy. 


Young Progressive Academy adalah rangkaian kegiatan pembelajaran bagi anak muda Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan kebangsaan dan pengetahuan dalam isu-isu terkini terkait politik, ekonomi, sosial dan budaya. Peserta akan diajak untuk dapat berpikir progresif dan kritis, sehingga mereka dapat berkontribusi pada proses transformasi politik, sosial, ekonomi dan pembangunan Indonesia secara umum. Selain itu, jaringan yang terbentuk melalui Young Progressive Academy juga diharapkan dapat bermanfaat untuk saling bersinergi dalam mewujudkan dampak di berbagai bidang. 


Kegiatannya dalam naungan Friedrich-Ebert-Stiftung di Indonesia.

Friedrich-Ebert-Stiftung mendirikan Kantor Perwakilan di Indonesia pada tahun 1968. Dalam kerjanya di tingkat internasional, FES fokus meningkatkan dialog untuk menciptakan saling pengertian dan pembangunan damai. Keadilan sosial dalam politik, ekonomi dan masyarakat adalah beberapa prinsip utama yang kami jalankan di seluruh dunia. Di Indonesia, kami telah melaksanakan berbagai kegiatan untuk mendukung Reformasi Jaminan Sosial, Negara Kesejahteraan, serta Pembangunan Sosial Ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.

Program-program yang didukung mencakup: Jaminan Sosial dan Negara Kesejahteraan, Pembiayaan Pensiun Berkelanjutan, Penganggaran untuk Masyarakat Miskin, Pembangunan Karakter Nasional, Ekonomi Masa Depan, Pembangunan Sosial Perkotaan, mempromosikan tiga dimensi keberlanjutan dalam pembangunan Indonesia di tingkat nasional dan lokal; mendorong pemberdayaan perempuan; mendorong inklusi penyandang disabilitas ke dalam pasar tenaga kerja, serta mempromosikan Indonesia sebagai rujukan bagi negara-negara lain di kawasan maupun di tingkat internasional dalam hal demokratisasi serta pembangunan sosial-ekonomi dan pembangunan secara damai. Kegiatan yayasan ini sebagian besar berpusat pada kerjasama dengan kementerian mitra, Kemenko PMK (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), lembaga negara terkait lainnya, universitas serta organisasi masyarakat sipil melalui berbagai perangkat seperti konferensi, seminar, lokakarya, diskusi meja bundar, pelatihan, permainan peran, beasiswa dan publikasi.

FES Indonesia juga memfasilitasi dialog internasional dengan mengirimkan delegasi resmi, ahli, akademisi dan jurnalis senior ke Jerman maupun negara lainnya. Dalam sejumlah kesempatan, juga  mengundang para pembuat kebijakan, profesional maupun akademisi Jerman dan Eropa untuk menjadi pembicara di Indonesia.

Young Progressive Academy atau kerap dikenal YPA berkaitan dengan anak-anak muda yang kritis dengan background aktivis berkumpul bersama untuk saling diskusi dan belajar.

Terdapat dua tahapan seleksi ketat, yang pertama adalah tahapan seleksi esai dan administrasi, saya ingat betul mengumpulkan esainya saat sedang berada di kantor UN Indonesia, tepat sesuai tenggat waktu tetapi ternyata diperpanjang jadwal pengumpulannya selama sepekan. Untuk selanjutnya ialah tahapan wawancara di sini terkait dengan esai itu temanya ada beberapa. Kalau saya sendiri mengambil tema GEDSI, saya menulis esai terkait dengan Kesetaraan gender di daerah saya sendiri yaitu di Aceh dan bagaimana kontribusi yang pernah saya lakukan di masyarakat berkaitan hal ini, mungkin bukan suatu hal yang besar yang saya lakukan tapi saya berharap bahwa hal tersebut  dapat bermanfaat, saya juga menuliskan harapan yang akan saya lakukan setelah selesai dari YPA.




Inklusivitas dan Partisipasi tanpa Memandang Gender


Terlahir di Serambi Mekkah, Aceh menjadikan saya banyak belajar dan berkembang di Tanah kelahiran saya. Aceh, memiliki kesejarahan dengan kepemimpinan perempuannya akan tetapi, saat ini belum banyak perempuan mendapatkan akses yang sama dan layak. Baik akses pendidikan, kesehatan, bahkan akses untuk kebebasan bersuara atau memberikan pendapat, dan mengambil peran. Padahal setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk setiap akses di kehidupan. 

Indonesia sendiri memberikan kebebasan dan keadilan bagi setiap penduduknya. Dengan dasar ideologi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mana keadilan ini sendiri mencakup keseluruhan aspek untuk berpartisipasi di dalam bidang pengembangan diri termasuk dalam demokrasi. Terkadang perempuan dianggap tidak dapat memimpin hanya karena dia perempuan, padahal partisipasi politik dan partisipasi perempuan di bidang pemerintahan itu cukup penting karena akan munculnya kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan memiliki sudut pandang dari seorang perempuan. Hal ini akan melahirkan kebijakan yang tidak hanya satu arah. Kebijakan yang inklusif dengan dinamika yang lebih berdaya.

Hal tersebut saya rasa cukup penting dipertimbangkan dan diberikan dukungan. Memberikan kesempatan kepada tiap manusia, tidak membatasi pergerakan dikarenakan gender. Dibatasi oleh ‘hal’ yang sejatinya gender adalah konstruksi sosial. Perubahan tersebut harus dimulai dari diri sendiri, harus lebih menciptakan suatu lingkungan yang lebih berdaya. Dibutuhkan kontinuitas dan berkesinambungan, salah satunya kepedulian kita bersama untuk mengurangi bahkan menghilangkan stigmatisasi. Misalnya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, padahal faktanya setiap individu dengan kapasitas yang layak boleh menjadi pemimpin dengan pertimbangan yang matanng. Karena kapasitas itu tidak bergantung oleh gender ataupun jenis kelamin seseorang. 

Banyak aktivisme yang saya lakukan dan usahakan untuk menjadi salah satu agen progresif sosial, untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berdaya. Tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga laki-laki. Sebagai Key Opinion Leaders di salah satu proyek aktivisme Girls Leadership Academy by Plan Indonesia saya banyak belajar berkaitan dengan aktivisme perempuan, tentu hal tersebut bukan tanpa tujuan, hal tersebut sebagai langkah nyata bahwa perempuan berdaya itu ada dan dapat terus menebar dampak. 

Saya kerap kali berpikir bagaimana cara turut serta menjadi bagian dari perubahan. Menjangkau, merangkul, dan berinteraksi dengan banyak orang salah satu hal yang dapat dilakukan. Sebagai mahasiswa kedokteran, saya turut langsung melakukan pengabdian di masyarakat. Bertemu dengan pasien, berinteraksi, bercanda, dan tertawa. Salah satu syaratnya adalah, tidak boleh memilih-milih pasien. Artinya nilai keadilan sosial adalah yang saya imani begitu krusial. Selama saya berada di kedokteran, banyak hal yang saya pelajari ternyata membawa perubahan kepada orang dan lingkungan sekitar. Dimulai dari komunitas, jejaring, dan sosial media yang cukup sangat berefek. Tidak selamanya kita membutuhkan aksi yang begitu besar, akan tetapi aksi yang sederhana dengan kontinuitas, .......... (kalau mau baca full esainya bisa kontak saya di instagram : heyraneey)


Selanjutnya ialah wawancara,  mengalir aja wawancaranya sesuai dengan esai dan kepribadian kita. 




Selanjutnya kita akan menunggu pengumuman Alhamdulillah saya dinyatakan menjadi salah satu yang terpilih untuk menjadi bagian dari FES Indonesia juga Young Progressive Academy bersama 34 aktivis lainnya yang akan ikut serta. Terdapat rangkaian kegiatan daring itu kurang lebih selama dua bulan kita belajar bersama secara konsisten, ada banyak sekali materi dan hal yang kita pelajari selama daring selanjutnya untuk tahapan luring itu diadakannya di Depok selama beberapa hari dan yang dipelajari juga beragam lanjutan dari tahapan daring itu sendiri.






Saya  senang sekali di pertemuan luring ini saya bertemu dengan aktivis muda juga yang aktif dengan isu nya masing-masing, mereka memang peduli dan membawa perubahan di lingkungannya mulai dari isu keagamaan dengan agama yang beragam dan lainnya.  Kita  juga diberi kesempatan untuk ikut serta ke Kemenko PMK, kita berkesempatan untuk menyuarakan aspirasi dan juga menjadi pengamat pada saat menteri rapat dan bekerja.

Bisa dilihat di video dengan pranala iniiiiii


Saat diberi kesempatan untuk bersuara, saya  membawa isu terkait dengan stunting dan juga dampaknya terhadap Indonesia, terutama daerah sendiri yaitu Aceh.


Harapan saya adalah, semua aspek turut serta untuk saling peduli terkait dengan stunting sehingga benar-benar tuntas. Multisektor dan multiperan, rumit dan kompleks.


Setelahnya kita juga menuliskan esai harapan untuk Indonesia di masa mendatang, Indonesia emas 2045. 


Saya sangat bersyukur dapat menjadi bagian dari YPA, karena banyak ilmu dan perspektif yang saya dapatkan. Hanya saja tak dapat dituliskan semua, karena sedemikian banyaknya ilmu yang saya dapatkan selama di sini.


Mungkin sekian yang dapat saya tuliskan, semoga bermanfaat!

Salam sayang

Raneey