Pandemi dan Konspirasi, 'Manusia' Kehilangan Hati Nurani?
Instastory dipenuhi, postingan mencari plasma, oksigen, obat,
ruang perawatan atau ICU, kabar duka, bahkan pas banget kemarin seorang
teman Saya yang di 'pulau Jawa' sibuk kesana kemari mencari obat dan
vitamin C. Ya, bahkan vitamin C. Harus ke kota sebelah katanya, karena di
kotanya apotek sudah kehabisan semua. Dan butuh hari itu juga.
Baca WA nya aja, nangis :')
Kita sekarang, baik via medsos mau pun pengumuman langsung dari
toa 'meunasah'/masjid rupanya tak membuka mata hati kah? Masih tak percaya
dengan keberadaan virus ini kah?
Saya sebenarnya ga masalah kalau ada yang ga percaya, mungkin virus ini belum 'silaturrahmi' ke dirinya atau keluarganya. Namun sebagai manusia, apa kematian yang kian bertambah hanya sekadar angka? Coba lah sejenak saja. Gunakah empati dan hati nurani sebagai manusia.
Kalau ga percaya, coba lah untuk menyimpan itu sendiri saja.
Jangan provokasi apalagi menebar hal yang ga pasti, ditambah memaki-maki bahwa
ini hanya konspirasi.
Minimal berupaya tidak melukai hati orang-orang yang
sedang berjuang melawan virus ini dan orang yang berduka.
Tak perlu kan harus Allah 'cabut nikmat sehat ' dulu baru
percaya?
Astaghfirullah.
Belum lagi banyaknya konspirasi yang berseliweran di dunia maya,
apa sebenarnya penyebab orang-orang gemar sekali memberitakan berita palsu dan
konspirasi?
Konspirasi itu muncul karena ketidakpercayaan, juga hanya mempercayai apa yang ingin dipercayai. Banyak sekali faktor yang menyebabkan munculnya hal ini,
Salah satunya adalah pilihan politik. Di mana yang anti pada pemerintahan, cenderung akan mudah sekali percaya dengan hoax yang beredar. Alasannya karena sudah benci duluan, jadi logikanya sudah 'abai' dengan fakta di lapangan.
Kemudian juga tidak semua masyarakat memiliki latar belakang pengetahuan yang baik, tidak semuanya terliterasi dengan baik. Penduduk yang belum terpapar informasi yang baik dan ilmiah, cenderung mempercayai konspirasi dan hoax. Alasannya sederhana, narasi bahasa hoax dan konspirasi itu LEBIH MUDAH DICERNA. Pemilihan bahasanya gampang dipahami. Saya baca beberapa hoax yang beredar, diksi dan narasinya mudah banget dicerna orang awam. Pantas saja banyak dipercayai yakan?
Masyarakat kita kan sosial banget kan ya ahhaha, bisa saling
berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain loooh.
Tentu sering dong denger
"Bu fulanah kemarin minum obat ini, sembuh dia. Manjur
tokcer, saya mau minum juga lah. Bu fulanah aja sembuh"
Hoax di WA grup,
"PENEMUAN DAHSYAT, ILMUWAN MUSLIM DOKTER TERMUDA LULUSAN
MESIR MENEMUKAN OBAT ANTICORONA YANG MUDAH KITA TEMUI DI
DAPUR"
Coba kita telaah polanya yuk!
1. Narasi keagaaman
2. Mengagungkan luar negeri
3. Lulusan termuda atau cepat lulus, mengindikasikan 'pinter
banget yang nemuinnya'.
4. Kemudahan bahan 'obat' untuk dibuat di rumah, yaitu bahan
yang ada di dapur.
5. Narasi mudah dicerna, tanpa harus mengulik jurnal lagi.
Pasti sering dong liat yang begitu, menyebar lah informasi yang tanpa dilandasi ilmiah. Kenapa hoax gampang menyebar sekarang?
Berkat kemajuan teknologi dan pengetahuan. Pasti dong sekarang sudah ada WA. Apalagi WA grup, xixixi. Saat ini konspirasi sering dan kerap muncul terutama yang menghampiri beberapa generasi boomer.
Mengapa beberapa generasi boomer kerap kali lebih percaya hoax?
Karena dikejutkan dengan teknologi.
Berdasar asumsi saya pribadi, dikejutkan dengan teknologi ini
berkaitan dengan akses informasi yang kian mudah, tetapi yang mengendalikan dan
menyebarkan informasi belum tentu bisa menyaring dengan baik.
Hal ini menjadi konsen karena berita bohong lebih mudah diakses daripada jurnal ilmiah, bahasa yang digunakan juga lebih mudah dicerna. Akibatnya ide-ide "luar biasa masyaAllah" lebih sering muncul, lebih cepat menyebar, dan lebih cepat dipercaya. Nah, tugas kita nih yang sudah 'terpapar hal ilmiah' untuk mengemas narasi ilmiah dan sumber tervalidasi agar mudah dicerna dan diterima masyarakat.
Get notifications from this blog
Halo! Terima kasih sudah membaca.